ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN (tugas 4)


ASPEK PERSEROAN, PERBANKAN, PERASURANSIAN DAN PERPAJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN JASA KONSTRUKSI
Definisi dan struktur dari aspek perseroran, Perbankan, Perasuransian dan Perpajakan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi
Sektor jasa konstruksi adalah salah satu sektor strategis dalam mendukung tercapainya pembangunan nasional. Posisi strategis tersebut dapat dilihat dari adanya keterkaitan dengan sektor lain. Jasa konstruksi sesungguhnya merupakan bagian penting dari terbentuknya produk konstruksi, karena jasa konstruksi menjadi arena pertemuan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa. Pada wilayah penyedia jasa juga bertemu sejumlah faktor penting yang mempengaruhi perkembangan sektor konstruksi seperti pelaku usaha, pekerjanya dan rantai pasok yang menentukan keberhasilan dari proses penyediaan layanan jasa konstruksi, yang menggerakkan pertumbuhan sosial ekonomi.
Oleh karena itu, pengembangan jasa konstruksi menjadi agenda publik yang penting dan strategis bila melihat perkembangan yang terjadi secara cepat dalam konteks globalisasi dan liberalisasi, kemiskinan dan kesenjangan, demokratisasi dan otonomi daerah, serta kerusakan dan bencana alam. Selain itu, perkembangan jasa konstruksi juga tidak bisa dilepaskan dari konteks proses transformasi politik, budaya, ekonomi, dan birokrasi yang sedang terjadi. Saat ini pengembangan jasa konstruksi dihadapkan pada masalah domestik berupa dinamika penguatan masyarakat sipil sebagai bagian dari proses transisi demokrasi di tingkat daerah dan nasional serta berkembangnya beragam model transaksi dan hubungan antara penyedia dengan pengguna jasa konstruksi dalam lingkup pemerintah dan swasta.
Sejumlah tantangan tersebut membutuhkan upaya penataan dan penguatan kembali pengaturan kelembagaan dan pengelolaan sektor jasa konstruksi, untuk menjamin sektor konstruksi Indonesia dapat tumbuh, berkembang, memiliki nilai tambah yang meningkat secara berkelanjutan, profesionalisme dan daya saing. Salah satu upaya tersebut ditempuh dengan mengevaluasi pelaksanaan dan perbaikan terhadap Undang- 2 Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (untuk selanjutnya disebut “Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi”) yang telah berlaku selama 15 (lima belas) tahun. Evaluasi dan perbaikan tersebut ditujukan untuk menjawab sejumlah persoalan saat ini dan ke depan. Pada prinsipnya, UU tentang Jasa Konstruksi mengatur jenis, bentuk, dan bidang usaha jasa konstruksi, pengikatan kontrak, tanggungjawab penyedia dan pengguna jasa, penataan partisipasi masyarakat jasa konstruksi, kegagalan bangunan, peran masyarakat jasa konstruksi, pembinaan, penyelesaian sengketa dan ketentuan pidana.

ASPEK-ASPEK YANG TERKANDUNG DAlAM KONTRAK KONTRUKSI
Kontrak konstruksi atau dokumen mengandung aspek-aspek seperti aspek teknis, hukum, administrasi, keuangan/perbankan, perpajakan, dan sosial ekonomi. Seluruh aspek harus dicermati karena semuanya saliang mempengaruhi dan ikut menentukan baik buruknya suatu pelaksanaan kontrak, atau dengan kata lain sukses tidaknya sesuatu proyek sangat tergantung dari penanganan aspek-aspek ini.

1.               Aspek Teknis
Tidak diragukan lagi bahwa aspek teknis merupakan paling dominan dalam suatu kontrak konstruksi. Aspek inilah yang menjadi pusat perhatian para para pelaku industri jasa kontruksi, seolah olah apabila aspek ini berhasil dilaksanakan proyek tersebut diangap berhasil dan sukses.
Padahal, aspek-aspek lain seharusnya juga diperhatikan dan dikelola dengan baik agar seluruh isi kontrak dapat dijalankan dan dipatuhi sebagaimana mestinya. Padahal umumnya aspek aspek teknis yang tercangkup dalam beberapa dokumen kontrak adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat umum kontrak (General Condition of Contract)
b. Lampiran-lampiran (Appendix)
c. Syarat-syarat Khusus Kontrak (Special Condition of contract/ Conditions of Contract – Particular)
d. Spesifikasi Teknis (Technical Spesification)
e. Gambar-gambar Kontrak (Contract Drawing)
2.               Aspek Hukum
Sesungguhnya seluruh dokumen kontrak terutama kontrak/perjanjian itu sendiri adalah hukum. Pasal 1338 KUHP menyatakan bahwa seluruh perjanjian yang dibuat secara sah merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Beberapa contoh mengenai pasal-pasal dalam kontrak kontruksi yang sarat dengan aspek hukum:
a.      Penghentian sementara
b.      Pengakhiran perjanjian/pemutusan kontrak
c.      Penyelesaian peselisihan
d.      Keadaan memaksa
e.      Hukum yang berlaku
f.       Bahasa kontrak
g.      Domisili

3.               Aspek Keuangan/ Perbankan
Aspek-aspek Keuangan/ perbankan yang penting dalam kontrak kontruksi antara lain:
a.     Nilai kontrak (Contract Amount) / Harga Borongan
b.     Cara Pembayaran (Method of Payment)
c.     Jaminan (Guarantee / Bonds)
Nilai kontrak dan cara pembayaran kiranya cukup/jelas, bahwa kedua hak ini penting dicantumkan dalam kontak dan merupakan aaspek paling penting untuk dicamtumkan karena pembayaran dan cara pembayaran, dipandang dari sisi penyediaan jasa, merupakan tujuan akhir dari suatu kontrak kerja.
Pembayaran dan cara pembayarannya dangat erat berkaitan dengan jaminan yang harus disediakan, baik oleh penyedia jasa maupun pengusaha jasa untuk menjamin/mengamankan pembayaran-pembayaran tersebut.
Jaminan-jaminan yang biasanya harus disediakan oleh penyedia jasa adalah:
1.    Jaminan uang muka
2.    Jaminan pelaksana
3.    Jaminan perawatan atas cacat

Sedangkan jaminan yang dapat diberikan oleh pihak pengguna jasa adalah Jaminan pembayaran

4.               Aspek Perpajakan
Dalam suatu kontrak kontrusi terkandung aspek perpajakan, terutama yang berkaitan dengan nilai kontrak sebagai pendapatan penyedia jasa. Jasa. Jenis pajak yang terkai dengan jasa kontruksi adalah:
a. Pajak Pertambahan nilai (PPN)
b. Pajak Penghasilan (PPh)
Dasar hukum yang mengenai Pajak Pertambahan nilai (PPN) atas jasa kontruksi diatur pada pasal 4 (c) UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan UU No.18 Tahun 2000. Dasar Hukum pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan jasa kontruksi siatur pada pasal 4 ayat 1 dan 2 UU No.7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU No.17 Tahun 2000.

5.               Aspek peransuransian
Aspek peransuransian yang biasanya terdapat dalam kontrak konstruksi adalah asuransi yang mencakup seluruh proyek termasuk jaminan kepada pihak ketiga dengan masa pertanggungan selama proyek berlangsung. Jenis asuransi umumnya dikenal denganistilah contractor’s all dan third party liability assurance (CAR dan TPL). Biasanya penerima manfaat (beneficiary) dari asuransi ini adalah pengguna jasa tetapi yang membayar premi adalah penyedia jasa. Besarnya nilai premi ini dapat saja tercantum secara khusus dalam daftar bill of quantity (B0Q). Asuransi jenis lainnya biasanya terdapat dalam kontrak adalah asuransi tenaga kerja dan asuransi kesehatan.

 6.               Aspek Sosial Ekonomi
Aspek sosial ekonomi tidak jarang terdapat atau dipersyaratkan didalam kontrak konstruksi sebagai syarat-syarat kontrak. Diantara aspek sosial ekonomi adalah keharusan menggunakan tenaga kerja tertentu, menggunakan bahan-bahan bangunan/material serta peralatan yang diperoleh didalam negeri dan dampak lingkungan.

7.               Aspek Administrasi
Aspek administrasi didalam kontrak konstruksi antara lain keterangan mengenai para pihak, laporan keuangan, surat menyurat dan hubungan kerja antara pihak.


ASPEK AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
Definisi, Konsep, dan Struktur Agraria dalam Pembangunan
Agraria merupakan hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan. Agraria sering pula disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal, agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam pengertian luas, agrikultur), karena pada awalnya, keagrariaan muncul karena terkait dengan pengolahan lahan.

Pengertian Hukum Agraria
Hukum Agraria pasti berbicara tentang hukum soal tanah, demikian kebanyakan kita berpikir mengenai agraria yang sering diperbincangkan. Karena istilah agraria memang identik dengan persoalan tanah. Demikian pula dengan hukum agraria. Ketika mendengarnya kita langsung menyamakan dengan pengaturan atas tanah berdasarkan peraturan yang ada. Dan hal ini tidak sepenuhnya salah ketika mengidentikkan hukum tentang tanah dengan hukum agraria. 
Hukum Agraria dalam ilmu hukum sebenarnya memiliki pengertian yang lebih luas. Dalam bahasa latin, agraria yang sering di sebut dengan “ager” mempunyai arti tanah atau sebidang tanah. Dalam bahasa latin pula kata “agrarius” berarti persawahan atau perladangan atau bisa juga pertanian. Jika kita buka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “Agraria” berarti urusan pertanahan dan atau tanah pertanahan serta urusan pemilikan atas tanah. Sedang dalam bahasa inggris istilah agraria atau sering disebut dengan “agrarian” yang berarti tanah dan sering dihubungkan dengan berbagai usaha pertanian. 
Definisi tentang agraria yang demikian, sangat berlainan dengan pengertian agraria yang termaktub dalam Undang-Undang Pokok Agraria (Hukum Agraria) yang memberikan pengertian agraria dalam arti yang lebih luas, ialah bahwa agraria meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Hukum agraria yang berarti sangat luas tersebut berdasarkan berbagai rumusan dapat kita temukan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, baik di dalam konsiderans, pasal dan penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria atau sering kita sebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA No.5/Tahun 1960). Beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dalam menerangkan tentang hukum agraria diantaranya adalah: Gouwgiokssiong dalam Buku Agrarian Law 1972, mendefinisikan bahwa hukum agraria merupakan hukum yang identik dengan tanah, hukum agraria dalam arti yang sempit. Dalam buku Pengantar dalam Hukum Indonesia 16, E. Utrecht memberikan pengertian yang sama terhadap hukum agraria dan hukum tanah. Dia berpendapat bahwa hukum agraria (hukum tanah) menjadi bukum tata usaha negara. W.L.G Lemaire dalam buku Het Recht in Indonesia 1952 membicarakan hukum agraria adalah suatu kelompok hukum bulat yang meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. 
Sedang Bachsan Mustafa, SH., memberikan pengertian bahwa hukum agraria adalah sebagai himpunan peraturan yang mengatur bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan tugas di bidang keagrariaan, d         an Boedi Harsono, memberikan pengertian terhadap hukum agraria bahwa hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang hukum semata. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur penguasaan atas berbagai sumber daya alam tertentu yang termasuk di dalam pengertian agraria. 
Dari berbagai pengertian tentang hukum agraria di atas, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya hukum agraria mempunyai pengertian baik dalam pengertian hukum agraria secara luas maupun pengertian hukum agraria secara sempit. 

ASPEK AGRARIA
Aspek agraria/ penguasaan tanah adalah terdiri dari hak, kewajiban dan batasan (RRR). Digambarkan dalam diagram berikut :

Menurut sifat, penguasaan tanah dibedakan menjadi tetap dan sementara. Penguasaan tanah tetap contohnya tanah yang dkuasai dari proses jual beli. Penguasaan tanah sementara contohnya tanah garapan yang dikuasai dalam batas waktu atau tanah sewa.
Tidak setiap kepemilikan tanah mencerminkan penguasaan tanah. Ada tanah yang dimiliki oleh A, namun dikuasai oleh B (karena B sebagai penggarap). Pola hubungan kepemilikan dan penguasaan tidak selalu harus serial namun bisa paralel. Seseorang bisa menguasai banyak bidang tanah milik orang lain atau sebaliknya. Menurut statusnya, pemilikan tanah dibedakan menjadi : pemilikan tanah berdasar hukum formal dan pemilikan tanah berdasar hukum adat (Wiradi, 2009). Pemilikan tanah menurut hukum formal sebagai contoh : Hak Milik, hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan lain sebagainya. Di Indonesia diatur dalam hukum tanah nasional yang mengacu kepada Undang-undang No.5 tahun 1960 atau lebih dikenal sebagai UUPA (Undang-undang Pokok Agraria).
Pemilikan tanah berdasar hukum adat meskipun tidak diakui sebagai hukum positif namun secara realita diakui keberadaannya oleh masyarakat dan seringkali dijadikan dasar (alas hak) pemberian hak kepemilikan menurut hukum positif. Contoh pemilikan menurut hukum adat : tanah yasan (merupakan tanah hasil membuka lahan yang dikategorikan setara dengan hak milik), tanah gogolan (merupakan pembagian tanah pertanian milik desa, penerima hak tidak boleh menjual), tanah titisoro atau tanah bondodeso (tanah milik desa yang pemanfaatannya digilir berdasar jabatan desa), dan lain sebagainya.
Tatanan hukum dan norma sosial yang mendasari status pemilikan tanah, baik menurut hukum positif maupun menurut masyarkat hukum adat, membentuk pola hubungan tanah-individu-masyarakat-negara yang disebut Sistem Penguasaan Tanah.

TANAH SEBAGAI PENDUKUNG PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Tiga pilar pokok dari terminologi “pembanguan berkelanjutan” adalah: ekonomi, lingkungan dan sosial (Williamson, 2009). Dalam perkembangannya kemudian menjadi empat pilar, ditambah unsur pemerintahan yang diselenggarakan dengan baik (good governance). Pada gilirannya sistem administrasi pertanahan (land administration system = LAS), sebagai bagian subsitem pemerintahan yang baik, dalam berbagai perannya yang strategis seharusnya dapat berkontribusi dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan.
Bentuk kontribusi bisa dalam konteks aturan, teknologi dan berbagai eksplorasi strategis. Peraturan pertanahan yang disusun semestinya menjalin hubungan yang harmonis antara kepentingan umum dan kepentingan bisnis. Selain itu peraturan pertanahan harus menciptakan jaminan kepastian hukum. Sehingga tanah memiliki kepastian nilai ekonomis sehingga bisa diberdayakan lebih luas meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Aspek teknis dari kontribusi LAS dapat menghasilkan perangkat dalam penyelesaian sengketa pertanahan dan dalam konteks perencanaan ruang dapat mengeksekusi model-model perencanaan tata ruang dan wilayah yang ideal. Ekplorasi teknis lebih lanjut diharapkan mewujudkan peta tunggal sebagai wadah / kerangka sehingga terjadi efisiensi anggaran dan efektifitas pekerjaan.
Untuk mengembangkan dan mengelola aset-aset sumberdaya dalam pengelolaan pertanahan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan maka disusunlah kaidah-kaidah pokok administrasi pertanahan (Williamson, 2009). Kaidah-kaidah tersebut yakni :
1.   Sistem Administrasi Pertanahan (Land Administration System / LAS). LAS menyediakan infrastruktur untuk implementasi politik pertanahan dan pengelolaan pertanahan mendukung pembangunan berkelanjutan.
2.         Paradigma pengelolaan pertanahan, menyediakan konsepsi kerangka kerja untuk memahami dan inovasi administrasi pertanahan.
3.   Masyarakat dan institusi, bertujuan memwujudkan pemerintahan yang baik, pembangunan kapasitas, pengembangan institusional. LAS seharusnya me-reka-ulang prosedur-prosedur layanan sehingga didapatkan bentuk pelayanan yang lebih memenuhi kebutuhan pengguna : warga negara, pemerintah dan pebisnis.
4.  Hak, Kewajiban dan Batasan, hak biasanya berkaitan dengan kepemilikan sedangkan batasan berkaitan dengan pengontrolan penggunaan dan aktivitas pemakaian tanah, sedangkan kewajiban lebih kepada aspek etik dan komitmen sosial.
5.         Kadaster, merupakan tulang punggung LAS yang berkaitan dengan penyatuan data spasial dan identifikasi tunggal dari setiap bidang tanah.
6.      LAS yang dinamis, memiliki 4 dimensi, yakni : 1. menampung refleksi perubahan yang evolusioner terkait hubungan tanah dan masyarakat, 2. pemanfaatan ICT (information and communication technologies) dan globalisasi beserta akibatnya terhadap desain dan operasi dari LAS, 3. sifat alamiah informasi dari LAS yang senantiasa mengalami perubahan yang cukup cepat, 4. perubahan penggunaan dan informasi bidang tanah.
7.     Proses, termasuk di dalam LAS adalah kumpulan proses yang menangani perubahan informasi tanah. Proses tersebut antara lain menangani : transfer, perubahan, pembuatan dan penyebaran kepentingan-kepentingan, penilaian dan pengembangan tanah.
8.         Teknologi, merupakan peluang yang berpotensi mengembangkan eifisiensi LAS.
9.         Infrastruktur Data Spasial, membuka dimensi baru dalam kerja efektif dan efisien dalam sebuah bidang kerja spasial yang lebih ramah untuk bagi-pakai sehingga bagi pakai informasi menjadi lebih mudah yang berdampak mengurangi pemborosan sumberdaya untuk pengolahan data yang sama.
10.      Ukuran sukses, tidak ditentukan oleh rumit dan kompleksnya kerangka kerja legal atau kecanggihan teknologi. Suksesnya LAS diukur dari kemampuannya mengelola dan mengadministrasi tanah secara efisien, efektif dan murah.

ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
Konsep Dasar Penataan Ruang, Aspek Hukum Penataan Ruang, Dan Wewenang Pengelola Dalam Perencanaan Kota
Rencana tata ruang merupakan rencana pemanfaatan ruang yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan program-program pembangunan dalam jangka panjang (Nurmandi, 1999). Oleh karena itu, rencana tata ruang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan rencana program pembangunan yang merupakan rencana jangka menengah dan jangka pendek. Kegiatan penataan ruang berkaitan juga dengan perencanaan pembangunan sehingga dokumen yang dihasilkan dari kegiatan penataan ruang dan perencanaan pembangunan sama-sama ditujukan untuk memprediksi kegiatan yang akan dilakukan di masa mendatang. Selain itu, rencana tata ruang sebagai hasil dari kegiatan perencanaan tata ruang merupakan bagian dari proses perencanaan pembangunan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pemanfaatan ruang merupakan serangkaian program pelaksanaan beserta pembiayaannya selama jangka waktu perencanaan. Kegiatan pemanfaatan ruang antara lain berupa penyuluhan dan pemasyarakatan rencana, penyusunan program, penyusunan peraturan pelaksanaan dan perangkat insentif dan disinsentif, penyusunan dan pengusulan proyek dan pelaksanaan program dan proyek (Oetomo, 1998). Rencana tata ruang harus dapat dioperasionalisasikan sehingga dapat menjadi strategi dan kebijaksanaan daerah untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan. Disamping itu, rencana tata ruang harus berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi program/proyek yang akan dilaksanakan di daerah yang berasal dari berbagai sumber dana, sebagai wujud dari pemanfaatan rencana tata ruang di daerah.
       Kedudukan rencana tata ruang wilayah dalam mekanisme perencanaan pembangunan daerah di Indonesia dapat dilihat pada Gambar Kedudukan Rencana Tata Ruang Wilayah Dalam Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah Berikut:

Perencanaan tata ruang dapat mempengaruhi proses pembangunan melalui 3 alat utama yaitu (Cadman dan Crowe, 1991):
1.   Rencana pembangunan, yang menyediakan pengendalian keputusan melalui keputusan stategis dimana pemerintah mengadopsi rencana tata ruang untuk mengatur guna lahan dan perubahan lingkungan.
2.         Kontrol pembangunan, yang menyediakan mekanisme administratif bagi perencana untuk mewujudkan rencana pembangunan setelah mengadopsi rencana tata ruang. Kontrol pembangunan ini berlaku pula bagi pemilik lahan, pengembang (developers) dan investor.
3.         Promosi pembangunan, merupakan cara yang paling mudah mengetahui interaksi antara perencanaan tata ruang dengan proses pembangunan. Dalam konteks pemerintahan, maka dengan adanya rencana tata ruang, pemerintah menginginkan adanya pembangunan dan investasi di daerahnya dengan cara mempromosikan dan memasarkan lokasi, membuat lahan yang siap bangun dan menyediakan bantuan dana serta subsidi.
Pertumbuhan ekonomi menyebabkan kebutuhan untuk mengembangkan lahan secara intensif. Selain itu, kegiatan implementasi rencana tata ruang melalui promosi pembangunan perlu dilakukan dalam rangka mencegah pembangunan yang tidak diinginkan dan mendorong terjadinya pembangunan (Cadman dan Crowe, 1991). Hal ini diikuti dengan ketertarikan para developer (termasuk pemerintah), untuk ikut serta berpartisipasi dalam pembangunan, penyiapan proposal rencana, kemungkinan perubahan pada lahan milik, penyediaan dana, persiapan fisik dan konstruksi kerja.
Dalam membahas rencana spasial dan rencana pembangunan daerah secara sekaligus, maka akan tidak terlepas juga dari aspek keuangan. Saat ini, tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana memanfaatkan rencana tata ruang sebagai media manajemen pembangunan daerah. Dalam hal ini, rencana tata ruang dihadapkan tidak hanya pada masalah bagaimana mengimplementasikannya dalam konteks pembangunan, tetapi juga rencana tersebut dapat digunakan sebagai suatu alat yang dapat memperkirakan besarnya investasi yang diperlukan dan berapa pendapatan (revenue) yang dapat dihasilkan. Oleh karena itu, pembangunan akan memerlukan peran berbagai aktor tersebut agar ruang dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan rencana tata ruang dalam rangka peningkatan pendapatan daerah dan tercapainya tujuan pembangunan.
Suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak seluruh pemanfaatnya, serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya. Dilengkapi dengan kesadaran pertimbangan pembiayaan dan waktu, maka dengan kata lain suatu rencana tata ruang harus disusun dalam suatu wawasan yang lengkap dan terpadu serta operasional, yang tentu saja tingkat operasionalnya disesuaikan dengan tingkat hirarki dan fungsi dari rencana tata ruang tersebut.
Rencana tata ruang dapat menjadi dasar dalam:
1.   Penyusunan Propeda
2.   Penentuan lokasi pembangunan tiap sektor
3.   Penyusunan anggaran daerah dan sektor
4.   Pengaturan dan pengendalian pembangunan melalui mekanisme perijinan dan penertiban penggunaan lahan.
           Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa rencana tata ruang tidak hanya digunakan dalam mekanisme penerbitan ijin saja, tetapi juga sebagai dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah dan jangka pendek serta penyusunan anggaran daerah. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa setiap kegiatan, baik fisik maupun non-fisik, pasti akan memerlukan ruang agar kegiatan tersebut berlangsung. Selain itu, seperti dikemukakan oleh Foley (1967) bahwa tata ruang tidak hanya merupakan konsepsi keruangan (spasial), tetapi juga terdapat wawasan bukan keruangan (a-spasial) karena kegiatan yang menyangkut spasial tidak terlepas dari kondisi a-spasial yang terjadi.
              Usman dalam Munir (2002) memandang perlu bahwa dimensi spasial dalam pembangunan daerah dapat menjadikan pembangunan daerah mempunyai watak atau ciri tersendiri, serta memiliki pola dan spirit sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya. Dalam upaya peningkatan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah serta mendorong pembangunan berkelanjutan, ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan, antara lain:
1. Penyusunan rencana tata ruang harus bersifat partisipatif dan dinamis dalam rangka menghadapi tuntutan globalisasi dan kebutuhan ruang masyarakat serta sesuai dengan kondisi, karakteristik dan daya dukung daerah.
2.Melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang demi tercapainya penataan ruang yang berbasis peran serta masyarakat.
3.Menggunakan rencana tata ruang yang ditetapkan sebagai pedoman penyusunan program-program pembangunan dan penerbitan perijinan pemanfaatan ruang serta alat kendali dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang agar tujuan dari rencana tata ruang tercapai.
4.Melaksanakan pembangunan daerah melalui pendekatan pengembangan wilayah bukan pendekatan sektor dimana program/proyek dari sektor/bidang serta alokasi pendanaannya diarahkan untuk pengembangan wilayah/kawasan prioritas yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
5.   Meningkatkan sosialisasi serta menyebarluaskan seluruh informasi rencana tata ruang dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang, agar masyarakat (stakeholder) dapat mengetahuinya secara jelas dan pasti tentang kebijaksanaan rencana tata ruang yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
6.  Menegakkan peraturan dan penerapan sanksi bagi pelanggar tata ruang ditinjau dari jenis pelanggarannya.
7. Menciptakan dan meningkatkan hubungan kerja sama antar daerah dalam pola pemanfaatan ruang, agar tercipta keserasian, keseimbangan dan keselarasan tata ruang.
8.  Menyiapkan kebijaksanaan tentang insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan ruang, agar fungsi/peruntukan yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang dapat terwujud.
Pembangunan dengan pendekatan kewilayahan yang merupakan pembangunan terpadu menurut Budiharsono (2001) diharapkan dapat mengurangi kesalahan-kesalahan pembangunan di masa lalu. Dengan pendekatan wilayah, akan dapat tercipta suatu sistem pembangunan yang bersifat terpadu dengan mendorong terciptanya berbagai bentuk spatial linkages, seperti jaringan interaksi fisik, sosial, ekonomi, teknologi dan administrasi.
Penyusunan dan pengusulan program dan proyek yang sesuai dengan rencana tata ruang bertujuan untuk mewujudkan keterpaduan antara program pembangunan dengan rencana tata ruang yang ada sehingga rencana tata ruang tidak hanya dilihat sebagai aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan daerah tetapi juga sebagai kegiatan yang dapat menunjang tercapainya sasaran-sasaran pembangunan. Oleh karena itu, rencana tata ruang merupakan salah satu kebijaksanaan yang strategis di daerah. 
              Rencana tata ruang wilayah kota menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan administrasi pertanahan.Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kota  adalah 20 (dua puluh) tahun. Rencana tata ruang wilayah  kota sebagaimana dimaksud ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.  kota Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kota ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. 
Rencana tata ruang wilayah  kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota. 
1.         Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota mengacu pada: 
a.   Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi; 
b.   Pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan 
c.   Rencana pembangunan jangka panjang daerah. 
2.         Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota harus memperhatikan: 
a. Perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota; 
b.   Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi  kota ; 
c.   Keselarasan aspirasi pembangunan  kota ; 
d.   Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 
e.   Rencana pembangunan jangka panjang daerah; 
f.    Rencana tata ruang wilayah  kota yang berbatasan; dan 
g.   Rencana tata ruang kawasan strategis kota. 
3.         Rencana tata ruang wilayah kota memuat: 
a.   Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah  kota ; 
b.   Rencana struktur ruang wilayah  kota yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kota ; 
c.  Rencana pola ruang wilayah  kota yang meliputi kawasan lindung  kota dan kawasan budi daya  kota; 
d.   Penetapan kawasan strategis  kota; 
e.   Arahan pemanfaatan ruang wilayah  kota yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan 
f.  Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah  kota yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. 
4.         Rencana tata ruang wilayah  kota menjadi pedoman untuk: 
a.   Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; 
b.   Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; 
c.   Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota; 
d.   Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; 
e.   Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan 
f.    Penataan ruang kawasan strategis  kota. 
Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud di atas disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. 
Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud  berlaku mutatis mutandis untuk perencanaan tata ruang wilayah kota, dengan ditambahkan:
1.         Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau; 
2.         Rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan 
3.         Rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. 
Selain tata ruang perkotaan yang diperhatikan ada beberapa aspek tata ruang yang harus diperhatikan juga yaitu tata ruang untuk wilayah nasional Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional diatur dengan peraturan pemerintah.
1.         Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional harus memperhatikan: 
a.   Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional; 
b.   Perkembangan permasalahan regional dan global, serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional; 
c.   Upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi.
2.         Aspek lain yang harus menjadi perhatian dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Nasional adalah:
a.   Keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah; 
b.   Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 
c.   Rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
d.   Rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan 
e. Rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota. 
3.         Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat: 
a.   Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional; 
b.   Rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama; 
c.   Rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional; 
d.   Renetapan kawasan strategis nasional; 
e.   Arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan 
f.  Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. 
4.         Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk: 
a.   Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional; 
b.   Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional; 
c.   Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional; 
d. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor; 
e.   Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; 
f.    Penataan ruang kawasan strategis nasional; dan 
g.   Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. 

PERIJINAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
              Dalam rangkaian proses pembangunan gedung bertingkat tinggi di Indonesia memerlukan beberapa izin kepada pemerintah serta pihak-pihak terkait. Proses pengurusan izin tersebut bisa jadi memakan banyak waktu dan biaya namun tentunya hal tersebut untuk kebaikan semua pihak, misalnya ketika kontraktor menggunakan alat berat tower crane sebagai alat angkat selama proses pembangunan berlangsung. Kontraktor diharuskan mengurus izin TC ke departemen tenaga kerja dengan begitu maka denpanker bisa memastikan apakah alat tersebut aman serta layak digunakan. Macam-macam perizinan pada proyek pembangunan gedung yang harus diurus dengan beres adalah sebagai berikut:
1.         Pengukuran dari pemerintah daerah.
2.         Block Plan.
3.         Izin Pelaksanaan (IP) Pondasi.
4.         Izin Pelaksanaan (IP) Struktur.
5.         Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
6.         Surat izin bekerja perencanaan konsultan perencana arsitektur, MEP, struktur.
7.      Izin mendirikan bangunan untuk prngurusannya diperlukan data izin peil banjir dan AMDAL
8.    Izin departemen tenaga kerja meliputi izin lift, tower crane, gondola, genset, penangkal petir dsb.
9.         Izin ke dinas pemadam kebakaran.
10.      Izin kebandan pengelola lingkungan hidup daerah untuk izin limbah.
11.      Izin deep well ini pada saat pekerjaan dewatering untuk menurunkan muka air tanah agar pekerjaan pondasi dapat berjalan dengan lancer.
12.      Surat izin bekerja perencana manajemen konstruksi atau konsultan pengawas.
13.      Sertifikat layak fungsi ini dapat jika telah selesai izin denpaker, pemadam kebakaran dan BPLHD.
14.      Izin penyembungan instalasi gedung (Telkom untuk sarana informasi, PLN untuk listrik, dan PDAM untuk air).
15.  Izin pemindahan atau penghilangan benda yang menghalangi pembangunan contohnya pohon, tiang telpon, tiang listrik, gardu PLN, panel dll.
Beberapa jenis peizinan lain bisa jadi diperlukan saat pelaksanaan misalnya izin ke satpol PP menggunakan fasilitas umum untuk kegiatan proyek, izin ke kelurahan dimana proyek berlangsung, izin ke kepolisan untuk pengamanan dan kelancaran proses pelaksanaan pembangunan. Semua dokumen perizinan tersebut harus lengkap saat serah terima gedung dari kontraktor kepada owner sebagai pemilik gedung, pegurusannya bisa melalui biro konsultan perizinan atau diurus sendiri.

ARBRITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONSTRUKSI
Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Penyelenggaraan Konstruksi
      Konstruksi adalah salah satu industri yang sangat kompleks, hal ini karena dalam proyek konstruksi terdapat multi disiplin ilmu dan berurusan dengan orang banyak yang memiliki kepentingan masing-masing. Kondisi ini pula yang membuka peluang sengketa menjadi lebih besar. Apabila merujuk kepada data statistik yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dimana sengketa kontruksi mendominasi kasus yang ditangani oleh BANI. Mulai periode tahun 1999 hingga 2016, tercatat terdapat 470 kasus, dimana kasus konstruksi mendominasi sebesar 30, 8 % dari total kasus yang ditangani oleh BANI. Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, penyelesaian sengketa konstruksi yang semula ditempuh melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur pengadilan dan di luar pengadilan mengalami perubahan.
Setelah terbitnya UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi, sengketa konstruksi terlebih dahulu diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Apabila para pihak yang bersengketa tidak menemukan kesepakatan, maka penyelesaian ditempuh melalui tahapan penyelesaian sengketa yang diatur dalam kontrak kerja konstruksi. Kemudian apabila penyelesaian sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para pihak dengan persetujuan tertulis mengatur mengenai tata cara penyelesaian sengketa yang dipilih. Adapun tahapan-tahapan penyelesaian sengketa sesuai UU No. 2/2017 adalah:
1.Para pihak yang bersengketa terlebih dahulu melakukan musyawarah untuk mufakat;
2.  Apabila musyawarah tersebut tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa disesuaikan berdasarkan kontrak kerja konstruksi;
3. Apabila penyelesaian sengketa tercantum dalam kontrak, maka penyelesaian sengketa ditempuh melalui tahapan sebagai berikut:
4. Mediasi;
5. Konsiliasi, dan;
6. Arbitrase
7. Jika penyelesain sengketa tidak tercantum dalam kontrak kerja konstruksi, maka para pihak yang bersengketa membuat tata cara penyelesaian yang dipilih.
          Jasa konstruksi merupakan salah satu sektor yang cukup rawan dengan sengketa. Sebab, bisnis ini melibatkan banyak pihak dan memiliki layanan yang kompleks. Layanan tersebut mulai dari jasa konsultansi perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. Tak heran, klaim di antara para pihak dapat melahirkan sengketa. Misalnya, ketika terjadi kegagalan bangunan atau pengusaha jasa konstruksi tidak berhasil merampungkan pembangunan gedung sesuai terminasi dan syarat-syarat yang disepakati. Pemesan gedung tentu saja bisa jalur yang lazim dipakai untuk menyelesaikannya, yaitu melalui pengadilan umum secara perdata atau di luar pengadilan. Namun, pengusaha jasa konstruksi lebih memilih penyelesaian sengketa di luar mempersoalkan kegagalan tersebut lewat jalur hukum. penyelesaian dengan cara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa terbukti efektif dalam penyelesaian sengketa, terutama yang terkait konstruksi. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa hal tersebut juga menjadi salah satu latar belakang berdirinya BADAPSKI. Institusinya itu hadir untuk menjawab kebutuhan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan beberapa kelebihan. Pertama, punya kekhususan di bidang konstruksi dan kedua cara pembiayaannya. Bagi institusi pemerintah yang tergantung pada dana APBN diberi kelonggaran dengan menyampaikan surat jaminan sebagai pengganti biaya administrasi yang nantinya dibayarkan setelah tersedianya anggaran atau pada saat putusan majelis arbitrase diterbitkan. Dibandingkan dengan proses beracara di pengadilan, alternatif penyelesaian sengketa bisa dikatakan lebih efisien. Terlebih lagi, dalam bisnis yang cukup kompleks seperti konstruksi. Hal ini lantaran melibatkan partisipasi yang lebih intensif dan langsung dari kedua belah pihak dalam usaha penyelesaian sengketa.  sengketa di meja arbitrase maupun alternatif lain di luar pengadilan didukung oleh ahli yang memahami persoalan. BADAPSKI bisa menyediakan seperangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan untuk keuntungan para pihak yang bersengketa. Organisasi ini bisa mengembangkan secara positif pembangunan infrastruktur tanpa adanya sengketa antara para pihak yang dapat menimbulkan terjadinya hambatan fisik dan finansial pada proyek-proyek infrastruktur. Hal ini juga bisa mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi. Serta mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa konstruksi diantara para pihak lebih menekankan penyelesaian di luar jalur pengadilan. Hal ini tidak terlepas dari keunggulan arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, dimana setidaknya terdapat beberapa keunggulan, yaitu:
1.         Kerahasian sengketa terjaga. Kerahasian merupakan suatu keunggulan yang dapat diperoleh ketika menggunakan jalur di luar pengadilan. Hal ini disebabkan oleh karena proses hingga putusan penyelesaian sengketa tidak dipublikasikan kepada publik.  Keunggulan ini tentu akan berimplikasi kepada hubungan antara para pihak yang bersengketa tetap baik, sehingga kelangsungan pekerjaan tetap dapat dilanjutkan.
2.         Sengketa diputus oleh pihak penengah (mediator, konsiliator, arbiter) yang mengerti bidang konstruksi. Hal ini dikarenakan para pihak yang bersengketa dapat bebas memilih pihak penengah yang akan memutus atau memberi anjuran terkait sengketa yang sedang terjadi. Artinya para pihak dapat memilih pihak penengah yang memiliki pengetahuan konstruksi. Hal ini tidak terlepas dari sifat sengketa konstruksi bersifat teknis, sehingga pihak yang menjadi penengah dapat memutus atau memberi anjuran secara tepat.
3.       Jangka waktu relatif singkat. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memiliki keunggulan secara waktu dalam penyelesaian sengketa. Artinya, penyelesaian sengketa dapat diselesaikan secara cepat daripada penyelesaian melalui jalur pengadilan. Hal ini tentu akan berimplikasi terhadap kepastian yang akan diterima para pihak yang bersengketa, seperti: kepastian atas kelangsungan pekerjaan, pembayaran pekerjaan. Kondisi sesuai dengan kebutuhan dari para pihak dimana sengketa dapat terselesaikan dengan tidak mengancam keberlangsungan pekerjaan dan hubungan baik diantara para pihak.


DAFTAR PUSTAKA

1.  Erdinal Agung, 2014. 8 Aspek Manajemen Proyek Konstruksi. http://8aspekmanajemenproyekkonstruksi.blogspot.com/2014/11/aspek-aspek-yang-terkandung-dalam.html. [Diakses pada 05 Januari 2019]
2.   Fahmi Widodo, 2013. Penguasaan Tanah Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan. https://www.academia.edu/4893311/Penguasaan_Tanah_untuk_mendukung_Pembangunan_Berkelanjutan. [Diakses pada 05 Januari 2019]
3.    Ahadi, 2014. Macam-macam Perizinan pada Proyek Pembangunan Gedung. http://www.ilmusipil.com/macam-macam-perizinan-pada-proyek-pembangunan-gedung. [Diakses pada 04 Januari 2019]
4. Anonim. Perencanaan Tata Ruang Wilayah Nasional. http://www.penataanruang.com/perencanaan-tata-ruang-wilayah-nasional.html/ [Diakses pada 04 Januari 2019]
5.         Anonim, 2015. Peran Rencana Tata Ruang dalam Perencanaan Pembangunan. https://perencanaankota.blogspot.com/2015/05/peran-rencana-tata-ruang-dalam.html. [Diakses pada 04 Januari 2019]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

contoh harapan pada manusia

Beton Prestress

lempeng pasifik